Rabu, 02 Juli 2014

Kepulauan Watubela

Kepulauan Watubela, Boats of Hope, 2007
Kepulauan Watubela
Geografis, Pembangunan, dan Pemerintahan
Kepulauan Watubela adalah salah satu kepulauan di kabupaten seram bagian timur, yang bernama kecamatan Wakate yang terdiri dari pulau Watubela, Kesui (Kaswuy) dan Teor dengan keterangan sebagai berikut :

PULAU
DESA
DUSUN

Watubela
Effa
Molola, dan Momar
Lahema
Falla, dan Kenawoku
IIlili
Kelangan dan Watubela


Kesui (Kaswuy)
Amarlaut
Amar, dan Aer Kampung
Guliar

Kelangan
Goul, Unin Tanah Soa
Tamher Timur

Eldedora

Suar

Kilbutak

Kelbo

Karlomin

Sumelang
Rumadurun, Ampera/Kotagaegaman, ,
Kildore

Tanabaru

Tamher Warat

Utta

Teor
Wermaf


Duryar


Rumoi


Ker-Kar


Keliwo


Momur


Rumalusi

Kep. Watubela ini adalah gugus pulau paling ujung di Kab. Seram Bagian Timur, kabupaten pemekaran pada pertengahan tahun 2004 (sebelumnya Kep. Watubela masuk di dalam wilayah Kab. Maluku Tengah).  Sejak masih dalam wilayah Maluku Tengah, Kep. Watubela ini memang termasuk daerah yang sedikit mendapat perhatian dan tertinggal pembangunannya.
Sudah sejak lama masyarakat kepulauan ini mengeluh mengenai kurangnya perhatian Pemerintah pada mereka.  Di beberapa dusun masih belum terdapat sarana air bersih yang layak.  Masyarakat bahkan secara sinis mengatakan bahwa Indonesia sudah merdeka 49 tahun tapi Wakate masih belum merdeka. 
Seiring dengan pemekaran kabupaten, Pemda SBT juga berencana melakukan pemekaran kecamatan.  Kep. Watubela adalah salah satu gugus pulau yang diusulkan untuk menjadi kecamatan Wakate.  Hal ini telah dicetuskan oleh Wakil Gubernur Propinsi Maluku saat kunjungan ke Kesui pada bulan September 2004 dan disepakati oleh Camat Gorom. Masyarakat Kep. Watubela, terutama masyarakat pulau watubela, menyambut gembira ide pemekaran ini karena mereka menganggap selama ini segala sesuatu berhenti di Gorom saja, tidak sampai ke Wakate.
Kecamatan yang ada sekarang ini di Kab. Seram Bagian Timur adalah :
KECAMATAN
IBUKOTA
Siwalalat

Bula
Bula
Pulau Gorom
Ondor
Seram Timur
Geser
Werinama
Werinama
Wakate
Lahema
Tutuk Tolu

Teor           
Ker Kar
Pulau Panjang

Bula Barat

Kilmury      

Gorom Timur

Bula Timur

Lian Fitu

Kian Darat

Masalah yang dihadapi kecamatan Wakate pada khususnya dan Kep. Watubela pada umumnya sama seperti yang dihadapi pulau-pulau kecil lain yang banyak terdapat di Propinsi Maluku.  Misalnya jauh dari pembangunan, kurangnya tenaga medis atau pendidikan, jarang mendapat perhatian dari pemerintah tingkat kecamatan, kesulitan transportasi.  Jangankan pulau-pulau kecil tersebut, pulau besar seperti Seram dan Buru, bahkan di Ambon pun jika menyebut masalah pembangunan, masih ada ketidakmerataan.

Kerusuhan di Kesui
Kerusuhan yang terjadi di Kesui tidak dimotori oleh warga Muslim yang asli Kesui.  Penyerangan sebagian besar dilakukan oleh orang-orang dari Gorom.  Dari awal pendampingan Kesui, hambatan yang ada hanyalah pada pengungsi asal Dusun Karlomin, Desa Tamher Warat.  Empat dusun lain tidak mengalamai kesulitan.  Basudara muslimnya menerima dengan terbuka (kecuali Utta, yang kepala desanya selalu berubah pendapat).
Berdasarkan hasil perbincangan dengan tokoh masyarakat muslim yang sejak awal mendukung pulangnya pengungsi Kesui, dusun di Kesui yang menentang pulangnya pengungsi (Ampera/Kotagaegaman, Desa Tamher Warat) adalah dusun yang mayoritas penduduknya pendatang.
Berdasarkan analisa selama pendampingan kasus Kesui, penyerangan yang dilakukan terhadap warga Kristen di Kesui lebih bermotif ekonomi.  Warga Kristen Kesui adalah masyarakat asli Kesui dan bisa dikatakan “tuan tanah” di Kesui, karena  mereka memiliki lahan pala-cengkeh-kopra yang paling luas di Kesui.
Terbukti memang selama warga kristen mengungsi, hasil pala-cengkeh mereka banyak dinikmati oleh orang-orang yang datang dari Gorom.  Bahkan belakangan, warga muslim Kesui (terutama dari desa Tamher Timur & Kelangan) juga menjadi terganggu karena orang-orang yang datang mengambil hasil pala-cengkeh tidak tahu batas mana yang milik pengungsi dan bukan.  Jadi, mereka ambil semua tanpa pandang bulu.
Selain Dusun Ampera/Kotagaegaman, semula Dusun Rumadurun & Sumelang dari Desa Tamher Warat juga menolak kembalinya pengungsi dan ketiga dusun tersebut mengajukan sejumlah tuntutan kepada Pemerintah bila ingin memulangkan pengungsi Kesui (Dibuat pada 13 April 2003).  Melihat daftar tuntutan yang diberikan, sebagian besar berkaitan dengan masalah pembangunan di wilayah Desa Tamher Warat.
Tetapi setelah proses Baku Bae Kesui di Tual pada 1 Desember 2004 dan dilakukan pertemuan keluarga di tiap kamp di Tenggara, terjadi perubahan sikap dari Dusun Rumadurun & Sumelang.  Mereka tidak lagi ambil pusing dengan tuntutan yang diajukan atas nama tiga dusun tersebut.  Mereka menyatakan siap menerima pengungsi kembali, apalagi mereka masih keluarga sendiri.  Jadi, yang tinggal keras sekarang adalah Dusun Ampera/Kotagaegaman yang mayoritas warganya adalah pendatang.
Mereka pun akhirnya menyatakan menerima pengungsi setelah kunjungan Gubernur pada 16 April lalu dan tidak mau bila pembangunan di Tamher Warat dilakukan karena dijadikan alat tukar dengan pengungsi (walau saat proses droping material bangunan di Kesui pada 20-24 Juni lalu mereka masih membuat ulah mengenai masalah talut pantai).

Kasus dusun karlomin
Melihat dari kasus yang ada, hanya Karlomin yang sejak awal memiliki hambatan dengan adanya tuntutan dari –awalnya- tiga dusun di Desa Tamher Warat, tapi lain halnya dengan Dusun Tanasoa (Ds. Kelangan, dengan dusun tetangga muslim, Goul) dan Dsn. Wunin & Dsn. Eldedora (Ds. Tamher Timur, dengan dusun tetangga muslim Tamheru/Suar, Kelibo & Kilbutak).  Tiga dusun terakhir ini sama sekali tidak bermasalah sejak awal karena kekerabatan yang kuat.
Karlomin mendapat dukungan kuat untuk kembali dari dusun muslim tetangga Kildor yang termasuk dusun kuat di Kesui dan memiliki kekerabatan kental dengan Karlomin.  Hal ini dibuktikan saat pameri, pemulangan dan hingga kini dengan gotong royong membantu.
Apalagi sejak proses Baku Bae Kesui di Tual pada 1 Desember 2004, 2 dusun yang semula ikut keras menolak (Rumadurun & Sumelang) berubah menjadi menerima, Karlomin hanya memiliki ganjalan dengan Ampera/Kotagaegaman.  Sedangkan dusun Ampera sendiri juga tidak berani melakukan apa-apa karena mereka tahu bahwa posisi mereka memang lemah sebagai warga pendatang.  Tidak ada alasan kuat sebenarnya untuk tetap bermusuhan dengan Karlomin.
 Bicara masalah air bersih dan pendidikan, masalah ini tidak hanya dialami oleh pengungsi yang baru kembali tapi juga masyarakat di Wakate pada umumnya.  Misalnya, penduduk 3 desa di P. Watubela (Efa, Lahema, Ilili) jika sedang musim kering mereka harus mendayung ke Desa Utta di P. Kesui untuk mengambil air. Dalam pendidikan, kurangnya tenaga guru dan sarana bangunan sekolah yang tidak memadai menjadi masalah klasik. Dan, masalah beras, bukan pengungsi saja yang kesulitan karena baru pulang, tetapi penduduk muslim juga mengalami kesulitan beras karena raskin datang tidak tentu.  Sedangkan untuk bahan pangan lain seperti kasbi, patatas atau keladi tidak tersedia karena selama warga kristen mengungsi, babi berkembang biak berlipat ganda dan membuat penduduk muslim tidak bisa berkebun di Kesui dalam jumlah besar.