Kepulauan Watubela, Boats of
Hope, 2007
Kepulauan Watubela
Geografis,
Pembangunan, dan Pemerintahan
Kepulauan Watubela adalah salah satu kepulauan di
kabupaten seram bagian timur, yang bernama kecamatan Wakate
yang terdiri dari pulau Watubela, Kesui (Kaswuy) dan Teor dengan keterangan
sebagai berikut :
Kep. Watubela ini
adalah gugus pulau paling ujung di Kab. Seram Bagian Timur, kabupaten
pemekaran pada pertengahan tahun 2004 (sebelumnya Kep. Watubela masuk di dalam wilayah Kab. Maluku Tengah). Sejak masih dalam
wilayah Maluku Tengah, Kep. Watubela ini
memang termasuk daerah yang sedikit mendapat perhatian dan tertinggal
pembangunannya.
Sudah sejak lama masyarakat kepulauan ini mengeluh mengenai kurangnya
perhatian Pemerintah pada mereka. Di beberapa dusun masih belum
terdapat sarana air bersih yang layak. Masyarakat bahkan secara sinis
mengatakan bahwa Indonesia sudah merdeka 49 tahun tapi Wakate masih belum
merdeka.
Seiring dengan pemekaran kabupaten, Pemda SBT juga berencana melakukan
pemekaran kecamatan. Kep. Watubela adalah salah satu gugus pulau yang diusulkan untuk menjadi kecamatan Wakate. Hal ini telah dicetuskan oleh Wakil Gubernur Propinsi Maluku
saat kunjungan ke Kesui pada bulan September 2004 dan disepakati oleh Camat
Gorom. Masyarakat Kep. Watubela, terutama masyarakat pulau watubela, menyambut gembira ide pemekaran ini karena mereka menganggap selama
ini segala sesuatu berhenti di Gorom saja, tidak sampai ke Wakate.
Kecamatan
yang ada sekarang ini di Kab. Seram Bagian Timur adalah :
Masalah yang dihadapi kecamatan Wakate pada khususnya dan Kep. Watubela pada umumnya sama seperti yang dihadapi pulau-pulau kecil lain yang
banyak terdapat di Propinsi Maluku. Misalnya jauh dari pembangunan,
kurangnya tenaga medis atau pendidikan, jarang mendapat perhatian dari
pemerintah tingkat kecamatan, kesulitan transportasi. Jangankan
pulau-pulau kecil tersebut, pulau besar seperti Seram dan Buru, bahkan di
Ambon pun jika menyebut masalah pembangunan, masih ada ketidakmerataan.
Kerusuhan di Kesui
Kerusuhan yang terjadi di Kesui tidak dimotori oleh warga Muslim yang
asli Kesui. Penyerangan sebagian besar dilakukan oleh orang-orang dari
Gorom. Dari awal pendampingan Kesui, hambatan yang ada hanyalah pada
pengungsi asal Dusun Karlomin, Desa Tamher Warat. Empat dusun lain
tidak mengalamai kesulitan. Basudara muslimnya menerima dengan terbuka
(kecuali Utta, yang kepala desanya selalu berubah pendapat).
Berdasarkan hasil perbincangan dengan tokoh masyarakat muslim yang
sejak awal mendukung pulangnya pengungsi Kesui, dusun di Kesui yang menentang
pulangnya pengungsi (Ampera/Kotagaegaman, Desa Tamher Warat) adalah dusun
yang mayoritas penduduknya pendatang.
Berdasarkan analisa selama pendampingan kasus Kesui, penyerangan yang
dilakukan terhadap warga Kristen di Kesui lebih bermotif ekonomi. Warga
Kristen Kesui adalah masyarakat asli Kesui dan bisa dikatakan “tuan tanah” di
Kesui, karena mereka memiliki lahan pala-cengkeh-kopra yang paling luas
di Kesui.
Terbukti memang selama warga kristen mengungsi, hasil pala-cengkeh
mereka banyak dinikmati oleh orang-orang yang datang dari Gorom. Bahkan
belakangan, warga muslim Kesui (terutama dari desa Tamher Timur &
Kelangan) juga menjadi terganggu karena orang-orang yang datang mengambil
hasil pala-cengkeh tidak tahu batas mana yang milik pengungsi dan
bukan. Jadi, mereka ambil semua tanpa pandang bulu.
Selain Dusun Ampera/Kotagaegaman, semula Dusun Rumadurun &
Sumelang dari Desa Tamher Warat juga menolak kembalinya pengungsi dan ketiga
dusun tersebut mengajukan sejumlah tuntutan kepada Pemerintah bila ingin
memulangkan pengungsi Kesui (Dibuat pada 13 April 2003). Melihat daftar
tuntutan yang diberikan, sebagian besar berkaitan dengan masalah pembangunan
di wilayah Desa Tamher Warat.
Tetapi setelah proses Baku Bae Kesui di Tual pada 1 Desember 2004 dan
dilakukan pertemuan keluarga di tiap kamp di Tenggara, terjadi perubahan
sikap dari Dusun Rumadurun & Sumelang. Mereka tidak lagi ambil
pusing dengan tuntutan yang diajukan atas nama tiga dusun tersebut.
Mereka menyatakan siap menerima pengungsi kembali, apalagi mereka masih
keluarga sendiri. Jadi, yang tinggal keras sekarang adalah Dusun Ampera/Kotagaegaman
yang mayoritas warganya adalah pendatang.
Mereka pun akhirnya menyatakan menerima pengungsi setelah kunjungan
Gubernur pada 16 April lalu dan tidak mau bila pembangunan di Tamher Warat
dilakukan karena dijadikan alat tukar dengan pengungsi (walau saat proses
droping material bangunan di Kesui pada 20-24 Juni lalu mereka masih membuat
ulah mengenai masalah talut pantai).
Kasus
dusun karlomin
Melihat dari kasus yang ada, hanya Karlomin yang sejak awal memiliki
hambatan dengan adanya tuntutan dari –awalnya- tiga dusun di Desa Tamher
Warat, tapi lain halnya dengan Dusun Tanasoa (Ds. Kelangan, dengan dusun
tetangga muslim, Goul) dan Dsn. Wunin & Dsn. Eldedora (Ds. Tamher Timur,
dengan dusun tetangga muslim Tamheru/Suar, Kelibo & Kilbutak). Tiga
dusun terakhir ini sama sekali tidak bermasalah sejak awal karena kekerabatan
yang kuat.
Karlomin mendapat dukungan kuat untuk kembali dari dusun muslim
tetangga Kildor yang termasuk dusun kuat di Kesui dan memiliki kekerabatan
kental dengan Karlomin. Hal ini dibuktikan saat pameri, pemulangan dan
hingga kini dengan gotong royong membantu.
Apalagi sejak proses Baku Bae Kesui di Tual pada 1 Desember 2004, 2
dusun yang semula ikut keras menolak (Rumadurun & Sumelang) berubah
menjadi menerima, Karlomin hanya memiliki ganjalan dengan
Ampera/Kotagaegaman. Sedangkan dusun Ampera sendiri juga tidak berani
melakukan apa-apa karena mereka tahu bahwa posisi mereka memang lemah sebagai
warga pendatang. Tidak ada alasan kuat sebenarnya untuk tetap bermusuhan
dengan Karlomin.
Bicara masalah air bersih
dan pendidikan, masalah ini tidak hanya dialami oleh pengungsi yang baru
kembali tapi juga masyarakat di Wakate pada umumnya. Misalnya, penduduk
3 desa di P. Watubela (Efa, Lahema, Ilili) jika sedang musim kering mereka
harus mendayung ke Desa Utta di P. Kesui untuk mengambil air. Dalam
pendidikan, kurangnya tenaga guru dan sarana bangunan sekolah yang tidak
memadai menjadi masalah klasik. Dan, masalah beras, bukan pengungsi saja yang
kesulitan karena baru pulang, tetapi penduduk muslim juga mengalami kesulitan
beras karena raskin datang tidak tentu. Sedangkan untuk bahan pangan
lain seperti kasbi, patatas atau keladi tidak tersedia karena selama warga
kristen mengungsi, babi berkembang biak berlipat ganda dan membuat penduduk
muslim tidak bisa berkebun di Kesui dalam jumlah besar.
|